BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
ilmu tasawuf yang membahas pendekatan diri manusia kepada Tuhan melaui
penyucian Roh ada sebuah tahapan dimana manusia dapat mencapai maghrifah bukan
pada tingkatan dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang Sufi akan berusaha
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menempuh jalan penyucian hati. Ia
melakukan berbagai latihan rohani dengan berzikir dan berkontemplasi sehingga
Tuhan memberi cahaya kepadanya apabila hatinya telah suci. Tahapan demi tahapan
ditempuh hingga sampai pada keadaan dimana seluruh kesadarannya lebur dalam
kesadaran tentang Tuhan.
Pembahasan
makalah ini lebih kepada wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi. Disini penulis akan
memaparkan beberapa dalil dari alquran dan hadits yang digunakan oleh para
Sufi tentang penyatuan manusia dengan
Tuhan untuk memberi gambara yang jelas mengenai munculnya paham-paham tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Panteisme : Wahdatul Wujud
Tuhan dan Manusia
Wahdatul
Wujud telah mewarnai keragaman pemikiran
tentang sufistis. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam
peradaban Islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali
ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan. Terlebih tema-tema yang diusung
menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti
Wahdah
al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua
kata yaitu wahdah dan al wujud. Wahdah artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al
wujud artinya ada. Dengan demikian wahdah al wujud berarti kesatuan
wujud.dikalangan ulama klasik ada yag mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang
zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebiih kecil. Selain itu kata
wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara
yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari
segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatu wujud yang
terakhir itulah yang digunakan para Sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan
Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Wahdatul
wujud dalam mistisme Islam atau tasawuf falsafi juga kerap di sebut atau
disamakan dengan Panteisme. Panteisme adalah aliran yang menyakini bahwa Tuhan
dan mahluk itu satu. Salah satu konsep ketuhanan yang dulu dianut oleh banyak
orang pandangan bahwa Allah adalah segalanya dan semua orang, dan segala
sesuatu adalah Allah.
Gambaran tentang ajaran al- wahdah al- wujud , al
hulul, atau al ittihad (panteisme) yang
di anut oleh semua aliran tasawuf dan tarekat sudah
tersebutkan dalam pernyataan tokoh-tokoh Sufi dan tarekat yang sudah kita
anggap mewakili semua aliran yang ada di dunia ini, seperti Abu Yazid al
Busthami, atau Alhalaj, demikian juga dengan Rabiah al Adawiyah, Abdul Qadir
Jailani atau jaluludin Rumi dalam kumpulan syairnya yang berjudul Matsnawi atau
al Ghazali, kemudian Abdurahman jami dan Ibnu Arabi.
Dalam
berbagai pernyataan yang diungkapkan oleh para tokoh Sufi dari berbagai aliran,
banyak ulama dan intelektual muslim yang berpendapat bahwa teori dan dokrin
tentang wahdatul wujud atau panteisme adalah inti atau esensi dari seluruh
teori atau dokrin sufi.
Filsafat
monoisme dengan emanasinya juga menjadi prinsip dasar tasawuf Ibnu Arabi dan Al
Halaj. Ibnu Arabi mengatakan bahwa Allah adalah sesuatu dan satu, Dia merupakan
wujud yang mutlak, maka nur (cahaya) Allah merupakan bagian dari dirinya.
Itulah hakikat Muhammadiyah, itulah kenyataan pertama dalam ketuhanan. Dari
hakikat Muhammadiyah itulah terjadi alam dengan segala tingkatannya. Dan dari
hakikat Muhammadiyah itulah memenuhi tubuh Adam dan Muhammad. Dan apabila
Muhammad telah mati sebagai tubuh namun nur Muhammad atau Muhammadiyah itu
tetap ada sebab ia merupakan bagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, Muhammad
adalah satu. Dan insan kamilpun adalah Allah dan Adam pada hakikatnya.
Sementara
al Halaj menggambarkan bahwa nur Muhammad atau hakikat Muhamadiyah merupakan
suumber kejadian alam semesta dari dirinyalah terpancar segala makhluk di alam
ini.
Dalam
dunia Kristen filsafat monoisme dengan teori emanasinya dianut oleh aliran
neoplatonisme dengan tokoh utamanya Plotinus. Teori plotinus dalam filsafat
monoisme dengan nama Plotinus Trinity: (Tuhan Yan Esa à
akal à
jiwa) plotinus dengan torinya ini mengenal dua jalan:
a. Jalan menurun (a way sdown) dengan emanas
: Tuhan-à akal -à
jiwa -à
universum yang serba aneka
b. Jalan menaik ( a way up) dengan
panteisme yaitu bersatunya kembali manusia dengan Tuhan : jiwa manusia à
jiwa à
akal à
Tuhan. Panteisme ini hanya dapat dicapai dengan jalan tasawuf
B. Dalil tentang penyatuan Tuhan dengan
Manusia
Filsafat yang menjadi
dasar pendekatan diri itu adalah: pertama, tuhan bersifat rohani, maka
bagian yang dapat mendekatkan diri diri dengan Tuhan adalah roh bukan jasadnya.
Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatiNya adalah roh yang suci.
Hakekat tasawuf kita
adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat
sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan dalam al –
Quran dan Hadits ayat 86 dari surat al Baqarah
:
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.”
Kaum
Sufi mengartikan doa disini bukan berdoa, tetapi berseru agar Tuhan mengabulkan
seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, Ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diriNya ke[ada yang berseru.
Tentang dekatnya Tuhan digambarkan oleh ayat berikut ini:
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
“ Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83].
Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini berarti dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan Sufi tidak
perlu pergi jauh untuk menjumpaiNya.
Ayat
berikut mengambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
”Dan Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
Ayat
ini mengambarkan Tuhan bukan berada diluar diri manusia tetapi dalam diri
manusia sendiri. Kemudian
dalam hadits disebutkan :
من
عرف نفسه فقد عرف ربّه
“ siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan mengetahui Tuhanya”
Untuk mengetahui Tuhan
Sufi tidak perlu pergi jauh dia cukup masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang
dicarinya akan Ia jumpai dalam dirinya
sendiri. Dalam konteks inilah ayat ini dipahami oleh Sufi
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãÏ9ur úüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 cÎ) ©!$# ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÊÐÈ
“Maka (yang sebenarnya) bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Disini sufi melihat
penyatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan.
Bahkan tuhan dejkat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada makhluk lain. Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu
dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalu ayat-ayat di atas
mengandung arti iitihad dan hulul persatuan manusia dan Tuhan. Hadits terakhir
ini mengandung komsep wahdatul wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al Quran menggambarkan betapa dekatnya
Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluknya yang lain. Gambaran serupa
tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan
kedekatan Tuhan. Dengan khusu’ dan banyak beribadah ia akaln merasakan
kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan matahatinya dan akhirnya mengalami
penyatuan rohnya dengan roh Tuhan dan inilah hakikat tasawuf.
- Konsep
Wahdatul Wujud Ibnu Arabi
Ibnu ‘Arabi dikenal luas sebagai
ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia
memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan
imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Ibn ‘Arabi lahir pada 27
Ramadhan 560 H/ 7 Agustus 1165 M, di Kota Murcia, ibu kota Andalusia Timur
(kini Spanyol). Ibnu
‘Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin
Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan
Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi Muhyiddin, dan
al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul
Ahmar. Tumbuh besar
di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat
keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada
Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali
Ibnu ‘Arabi. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya
pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan
inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi
kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi.
Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sasetra. Kerana itu,
tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar
ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Dalam
pemikiran Ibnu ‘Arabi Allah adalah khalik bagi seluruh alam. Seluruh yang ada
termasuk manusia adalah pancaran iradat Allahh. Inilah yang membawanya kepada
suatu simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adallah esensi dari Tuhan itu
sendiri. Teori wahdatul wujud ini
menegaskan bahhwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensi merupakan
substansi wujud Tuhan yang tunggal.
Menurut ibnu ‘Arabi Wahdat al-Wujud
(وحدة الوجود) berarti : kesatuan wujud.
Faham ini
adalah lanjutan dari faham hulul. Dan faham wahdat al-wujud, nasuf yang ada
dalam hulul tersebut, dirubah oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk–
dan lahut menjadi haq –Tuhan–. Khalq dan haq adalah dua aspek
bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah
dalam disebut haq.
Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa
hakiakat wujud sejati dan realita ( wujud eksternal, entitas, maujud) hanya
terbatas pada Allah Swt. Sedangkan sksistensi entitas-entitas lain mersifat
metaforis. Dengan kata lain dia menganggap Tuhan sebagai satu-satunya hakikat
wujud sekaligus realitas obyektif dari
keadaan. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis metaforis.
Konsep dasar pertama dari filsafat
Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada
yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan
dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini,
antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh
Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya
yaitu :
- Bahwa
semua yang ada adalah zat tunggal
- Bahwa
zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya
- Bahwa
tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh
sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat
tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan
seragam (homogen).
Zat, oleh sebab itu, menentukan diri
sendiri, dan dari hasil dari penentuan diri (ta’ayun) maka pembedaan dan
perbedaan akan muncul dalam zat, dan penggandaan akan berkembang dari kesatuan.
Tetapi dalam proses ini, zat tidaklah membagi atau juga tidak menjarangkan diri
sendiri. Samalah juga dengan zat tunggal yang mengada dalam keseluruhannya, di
sini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa
membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang aktor, ia tampak
dalam berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda karakter dengan
nama-nama yang berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibnu al-Arabi menyamakan
penampakan dari sesuatu berbagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es,
atau pula sebagai uap. Dan zat juga yang menentukan diri sendiri dalam berbagai
bentuk adalah zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya tidak
akan ada dua zat yang mengada bersama-Nya. Kemudian juga, bahwa zat Tuhan
adalah zat dunia; perbedaan di antara keduanya adalah di atur dengan nalar yang
sama. Karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara Tuhan dan
dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara
pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan
antara yang tunggal dengan yang emanasi (pancaran-Nya)
Menurut Hamka, Ibnu ‘Arabi dapat
disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan
pikir dan filsafatdan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan
bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan,
fitnah, ancaman, kaum awam sebagaimana yang dialami al Halaj.
Baginya wujud yang ada itu hanya
satu. Wujud makhluk adalah ‘ain ujud khaliq. Pada hakikatnya tidak ada pemisah
diantara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara khalik dan makhluk itu hanyalah lantaran
pendeknya pahan dan akal dalam mencapai hakikat. Dalam Futuhat al Makkah sebagai
kitab yang dikarangnya, Ibn Arabi berkata sebagai berikut:
“ wahai yang menjadikan segala sesuatu
pada diirinya Engkau bagi apa yang yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang
Enkau jadikan barang yang tak berhenti adanya pada Engkau maka Engkaulah yang
sempit dan yang Lapang”. Pada bagian lain dari kitabnya itu Ibn Arabi
mengatakan bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itu adalah
hakikat alam. Tidak ada disana perbedaan antara wujud yang qadim yang di sebiut
Khalik dnegan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antar
‘abid (manusia yang menyembah) dengan ma’bud (Tuhan yang disembah). Perbedaan
itu hanya rupa dan ragam sedangkan esensi dan hakikatnya sama.
Konsep sentral
dari teori wahdah al wujud Ibn ‘Arabi ini adalah tajalliat al Haq, yakni
menampakkan diri Allah melui penciptaanalam, kata jalli dalam term Ibn ‘Arabi
identik dengan konsep faidh (emanasi, pelimpahan). Konsep dasar inilah yang
secara ontologis menghubungkan antara khalik dengan makhluk, yakni yang satu
menjadi banyak. Dzat Allah yang asli tetap azali dan transenden secara absolut.
Ibnu
‘Arabi merupakan figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, al
Halaj. Ia juga beranjak dari pembacaan diatas Tuhan yang menurutnya tidak dapat
terlihat oleh siapapun (visible to no one). Ia menolak klaim para Sufi yang
mengaku melihat Tuhan dalam keadaan ekstasi atau fana’ mereka.
- Karya-karya
Ibn al-‘Arabi
Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi,
sebenarnya sebuah risalah doktrin yang bersifat metafisis dan ma’rifat (tanpa
suatu pengenalan awal lebih dahulu) yang mengambil al-Qur’an dan sunnah sebagai
sumbernya. Karena penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai penafsiran yang
berwenang menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang terlihat
dengan “Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna. Dan ada
karya-karya yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat” dan “fushush
al-hikam”. Dari keduanya, hanya fushush al-hikam yang diterjemahkan
oleh Titus Burckharat, bagi orang orang berbahasa Arab, teks-teks yang segera
bisa didapatkan adalah kedua karyanya “Klineire Scriften des Ibn al-Arabi”
(Leyden, 1849) yang di cetak dalam Rasa’il Ibn al-Arabi (Hyderabad,
1947). Belakangan ini “Tarjamun al-Asywaq” yang diterbitkan di Beirut
(1961) dan Diwan juga telah diterbitkan kembali.
Dan ada salah satu karyanya yang
hilang tidak satupun ditemukan ringkasan (ikhtisharaf), “Bukhari,
Muslim, Tirmidzi”. Sedangkan karya kitab “Miftah as-Sa’adah” itu
juga hilang dan kitab yang berjudul “al-Misbah fi Jam bayna Shihab”.
Dalam karangan Misykatul yaitu kitab “al-Arba’ inath-Thiwalat” pada
tahun 599/1202 terminus ad quem dan beberapa hadits yang masih ada seperti, “Misykat
al-Ma’qul al-Muqtabasah Min-nural Manqul” yang terdiri dari 9 bab. Dan di
dalam karya ini ada keistimewaannya tersendiri, yaitu beliau hanya menekuni
hadits-hadits “quds”, yaitu hadits-hadits di mana Rasul (semoga turun
atas berkatnya dan kedamaian abadi), menyikapi kalimat-kalimat disebutkan
berasal dari Allah sendiri.
KESIMPULAN
Persatuan
dengan Tuhan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi atau hal yang
terlarang dalam Islam untuk mengupayakannya. Penyatuan dengan Tuhan adalah
upaya manusia untuk selalu dekat dengan
Tuhan. Tentu saja mereka tidak bermaksud menentang ajaran Tuhan. Tuhan juga tidak
akan membiarkan hambanya yang sudah dekat denganNya meninggalkan
ajaran-ajaranNya.
Bila melihat uraian diatas dapat
dinyatakan bahwa ajaran ittihad dan hulul serta wahdatul wujud adalah sama
yakni ketiganya menginginkan tercapainya penyatuan dua zat, makhluk dan khalik
meskipun terjadi sedikit perdepatan dalam penyatuan tersebut. Hulul menempatkan zat Tuhan dalam zat
makhluk, sedangkan ittihat yang asalnya beragam kemudian menjadi satu baik
dengan jalan bahwa salah satu teap sedangkat zat yang lain hilang Atau tetapnya
dua zat yang kemudian menyatu. Dan wahdatul wujudadalah penyatuan Tuhan dan
manusia. Tuhan menampakkan dirinya melalui penciptaan alam, teori yang ketiga
ini identik dengan konsep Ibnu ‘Arabi.
DAFTAR PUSTAKA
Labib, Muhsin Mengurai Tasawuf,
Irfan, & Kebatinan, Jakarta: Lentera Basritama, 2004