PENGARUH
SOSIOLOGIS TERHADAP IJTIHAD ULAMA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
sosiologis
Sosiologi
berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August Comte
(1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi
namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu
yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya.
Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku
sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai
sebuah ilmu,
sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil
pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum. Sosiologi
merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi
sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan.
Akhir-akhir ini semakin berkembang
kecenderungan untuk menggunakan sosiologi sebagai alat perubahan sosial lewat
gerakan sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Kecenderungan ini semakin menguat setelah
menyadari bahwa kemajuan ilmu selama ini makin jauh dari harapan kemanusiaan.
Semakin modern kehidupan sekarang, makin banyak yang terpinggirkan dan dirugikan.
Dengan demikian, sosiologi memperluas tanggung jawab, bukan hanya sebatas
menjelaskan fenomena sosial, akan tetapi sekaligus terlibat langsung dalam
melakukan perubahan sosial secara praxis.
B.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata جَهَدَ artinya mencurahkan segala kemampuan atau
“menanggung beban kesulitan”. Arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan
segala kemampuan dalam segala perbuatan.
Adapun arti ijtihad menurut istilah ushul fiqh,
para ahli ushul fiqh memberikan banyak definisi yang berbeda. as Syaukani dalam
bukunya Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hokum syara’ yang bersifat operasional
dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hokum).[1]
Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun
waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan
tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung
dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap
berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha,
dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.
Jadi kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan
kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru yang muncul, kondisi masyarakat
yang selalu berubah dan berkembang dan selama syariat Islam masih cocok setiap
masa dan tempat serta masih harus menetapkan hokum setiap perkara manusia.
Terutama zaman sekarang ini lebih membutuhkan kepada ijtihad bila dibandingkan
dengan zaman dahulu, karena terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan social
setelah revolusi industry, perkembangan teknologi dan lain sebagainya
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia,
pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor:
- Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
- Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
- Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
- Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.
Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim
dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat
berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa
tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu
dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat
relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus
bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran
dan Sunnah. [2]
Menurut DR Yusuf al-Qardhawi ada dua metode yang
tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi
saat ini yaitu:[3]
a.
Ijtihad Intiqa’I, ialah meneliti
ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan
mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat
pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan,
yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu harus mengandung syarat berikut ini:
1.
sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2.
sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3.
sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4.
sesuai dengan kemaslahatan.
b.
Ijtihad Insya’I, yakni mengambil
konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh
mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto
sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits
yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan
gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk
allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan
itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut
‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh.
Bakhit Al Mu’thi. Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus
berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad.
[4]
C.
Perubahan Sosial
Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan
perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan
istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih dipergunakan dalam
pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah
terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan social. Kebutuhan
- kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait
dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial:
- Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
- Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[5]
Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah
penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan
masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat
mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam
masyarakat dan lain sebagainya.
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan
yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat
perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat
dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1)
perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang
sama.[6]
Menurut Yusuf al-Qardhawi ada dua
bidang baru untuk ijtihad yaitu : bidang ekonomi dan keuangan dan bidang Ilmiyah dan Kedokteran.
1.
Bidang Ekonomi dan keuangan
Abad kita ini sungguh telah penuh dengan aneka problematika
bisnis dan perseroan-perseroan baru dalam bidang ekonomi dan keuangan yang
belum pernah dikenal ooleh orang yang hidup dizaman dahulu. Bahkan belum pernah
dikenal oleh orang-orang yang hidup paling dekat dengan zaman kita sekarang
ini. Sebagai contoh, perserikatan bisnis dengan berbagai bentuknya seperti
asosiasi saham dan perseroan terbatas serta lain-lainnya, juga perserikatan
modern dengan berbagai macam bidangnya. seperti asuransi yang beraneka ragam
bentuknya; asuransi jiwa, harta benda dsb. Begitu pula bank dengan beraneka
ragam.
2. Bidang pengetahuan dan kedokteran
Suatu hal yang dimaklumi bahwa ilmu
pengetahuan modern dengan segala temuannya yang canggih dan kemajuan tekhnologi
yang demikian pesat ditambah dengan potensi yang dimiliki manusia yang serupa
dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa lalu,terutama dibidang
kedokteran akan menimbulkan berbagai macam problem yang menuntut kita menemukan
alternative penyelesaian dan pemecahan menurut agama Islam. Sekaligus menuntut
seorang mujtahid modern untuk mencurahkan segenap kemampuannya dan potensinya
untuk menggali hokum yang sesuai dan rielevan dengan persoalan-persoalan
tersebut.
Sebagai
contoh permasalahan baru yang timbul dikalangan masyarakat modern salah satunya
yaitu pencangkokan oorgan tubuh, pencangkokan organ tubuh adalah termasuk
bidang kedokteran yang mengalami perkembangan demikian cepat. Tujuan
transplantasi itu adalah untuk menyelamatkan kehidupan atau berusaha
memperbaiki kualitas kehidupannya, seperti menjadikan seseorang yang tadinya
buta bias meliihat kembali dsb. Maka disini akan timbul berbagai pernyataan
seperti ; (1) apakah kita diperbolehkan mengadakan transplantasi seluruh atau
sebagian organ tubuh binatang bagi manusia? (2) apakah boleh seorang muslim
boelh mendonorkan salah satu anggota tubuhnya kepada anaknya padahal ia masih
hidup? (3) bolehkah seorang muslim menyetujui organ tubuhnya diambil yang
nantinya di donorkan kepada orang lain yang masih hidup, manakala ia sudah
meninggal? (4)bolehkan orang-orang islam mendermakan organ tubuhnya sesudah
meninggal untuk di cangkok demi kepentingan penelitian akademis? Dll. Oleh
karena itu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer seperti tersebut
diatas dibutuhkan ada ijtihad yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat yang berkembang saat ini.[7]
Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan
bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[8]
- Interaksi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat
Sebagai
masyarakat sosial manusia harus saling berinteraksi antar sesama tanpa melihat
agama, adat, ras, gologan serta beberapa bentuk strata sosialnya lainnya, sebab
manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Dalam kaitannya dengan
kajian hukum Islam maka hal tersebut harus dibedakan, bukan karena ingin
membagi masysrakat dalam kelas-kelas tersebut tetapi kita lebih pada pendekatan
sosiologi hukum, bukan sosiologi secara umum. Oleh karena itu, kajian ini lebih
mendekati pada sosiologi hukum Islam dalam beradaptasi dengan lingkungan
masyarakat lokal yang mempunyai budaya sendiri dilain pihak.
Islam
sebagai agama yang sesuai dengan waktu dan zaman (likulli waktin wa zamanin)
harus berintekrasi dengan masyarakat yang sebelumnya mempuanyai tata adat
sendiri. Untuk menemukan benang merah antar keduanya perlu kita ketahui maksud
dan tujuan hukum Islam yang terkenal dengan istilah maqashid as-syari’ah.
Secara umum maksud dan tujuan dari hukum Islam (maqashid as-syari’ah) adalah
untuk kemashlahatan manusia di dunia. Hal ini harus di artikan secara luas,
maksudnya, pada dasarnya hukum islam hendak mewujudkan kebaikan kehidupan
hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun sosial.
Para ulama mengklasifikasikan maqashid as-syari’ah menjadi lima bagian aspek pokok (al-kulliyat al-khamsah), yakni:
Para ulama mengklasifikasikan maqashid as-syari’ah menjadi lima bagian aspek pokok (al-kulliyat al-khamsah), yakni:
1. Kemashlahatan
agama,
2. Jiwa,
3. Akal
4. Keturunan/kehormatan
atau harga diri,
5. Harta.
Lima
hal inilah yang secara umum harus dipelihara oleh hukum Islam, memelihara dan
menjaga lima hal ini akan mendatangkan mashlahat, sebaliknya mengabaikan lima
ini akan mendatangkan mafsadat. Sebelum agama-agama besar di dunia memasuki
Indonesia, kususnya Islam, adat di Indonesia dipengaruhi oleh kepercayaan asli
bangsa Indonesia, yakni animesme. Kepercayaan masyarakat adat terhadap hal-hal
gaib dan mistis sangat kental, tak heran bila mereka banyak melakukan
ritual-ritual yang tidak ajarkan oleh agama.
Bila
dikaitkan dengan prilaku hidup masyarakat adat, maka yang harus menjadi patokan
dalam adalah lima hal tersebut. Selama adat-istiadat dari masyarakat tidak
bertentangan, Ia dapat diterima oleh Islam. Namun, karakteristik dari
masyarakat adat tradional adalah mempercayai hal-hal ghaib dan supranatural.
Berbeda dengan masyarakat adat saat ini yang sebagian besar telah memeluk
agama, kehidupan sosial lebih terbuka dan menerima perkembangan zaman. Namun,
keterbukaan terhadap budaya lain bisa mengandung unsur positif dan negatif.
Positifnya adalah budaya dari luar bisa mendorong dinamika sosial. Negatifnya,
sebagai akibat, dapat merentankan hal-hal yang tidak sesuai dengan pola pikir
dan paradigma serta adat-istiadat. Begitu juga dengan interaksi islam dan
budaya lokal, tentu terdapat kemungkinan islam mewarnai, mengubah, mengolah,
dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin juga islam yang justru diwarnai
oleh berbagai budaya lokal .
Dalam
hukum adat, ada ketentuan-ketentuan khusus sebagai hukuman yang diberikan
kepada mereka yang melanggar. Pengucilan, misalnya, adalah hal yang paling
gampang ditemui dimasyarakat adat saat ini, dilakuakan kepada mereka yang
melanggar norma adat, seperti besikap curang saat melakukan transaksi jual beli
atau melakukan hal-hal yang amoral seperti tidak hormat pada orang tua. Disini
hukum adat lebih bersifat individual atau prifat. Sebenarnya, tidak ada aturan
yang mewajibkan untuk mengucilkan mereka yang melanggar norma adat tersebut,
karena, seperti telah disinggung diatas, hukum ada bukanlah hukum tertulis,
melainkan merupakan aturan yang dikerenakan persamaan persepsi atau pola pikir.
Secara tidak langsung adat dan budaya lebih pada kesepatan umum dari masyarakat
adat.
Konsekuensi
tersebut terdapat juga dalam hukum islam. Islam misalnya mengajarkan agar tidak
melakukan riba atau mengurangi timbangan. Tidak ada ketentuan yang hukum yang
pasti terhadap pelaku riba dan pengurang timbangan, hanya saja hukum yang akan
diterima oleh pelaku adalah kelak diakhirat. Atau tidak hormat pada orang tua,
dalam islam tidak ada ketentuan pasti yang mengharuskan hukuman bagi pelaku,
namun hukuman itu akan diterima kelak diakhirat. Inilah yang membedakan antra
hukum adat dan hukum islam. Hukum adat tidak mempunyai dasar normatif, sedang
hukum islam mempunyai dasar normatif yang menjadi rujukan seluruh umat islam.
Jika kita melihat perkembangan hukum adat saat ini, banyak sekali unsur-unsur
norma-norma agama kemudian dijadikan sebagai hukum adat itu sendiri. Banyak
para pemerhati hukum adat terkini kurang memperhatikan hukum murni dari adat
tersebut, mereka lebih pada perkembangan hukum adat setelah mengalami
akulturasi dengan hukum atau budaya lain. Hal ini dikarenakan pergeseran budaya
masyarakat yang semakin pesat, sehingga sulit menemukan antara norma asli adat
dan norma hasil akulturasi. Misalnya akulturasi pemikiran terjadi di minangkabau,
bahwa pergesaran kehidupan sosial masyarakat dalam bidang keilmuaan dan
pendidikan semenjak hadirnya sekolah-sekolah formal agama merentankan citra
surau yang dianggap jelek karena melambangkan keterbe-lakanngan.
Di
minangkabau sendiri proses akulturasi mengalami tarik ulur, misalnya tentang
masuknya ajaran islam yang memposisikan suami sebagai kepala rumah tangga,
sedang adat minangkabau bersifat matrineal (garis ibu). Salah satu yang
melakukan kritikan itu adalh Hamka. Sebagaimana yuang dikutip Dr. Chairul Anwal
bahwa menurut Hamka, susunan menurut adat (sistem susunan mamak) itu sudah
merupakan fosil, sudah tidak laku lagi. Revolusi adat tawaran Hamka kemudian
mengalami keberhasilan meski samar-samar . Namun hal ini menunjukkan bahwa
semakin dewasa pola pikir masyarakat semakin keluar dari tradisi lama mereka.
Perubahan progresif selalu menjadi harapan, meski itu tidak serta merta. Meski
adat minangkabau seperti diatas awalnya bukan merupakan kesadaran masyarakat
menuju perubahan, namun kesadaran beragama mereka sangat kental, ini dibuktikan
dengan berubahnya corak masyarakat bersamaan perkembangan pemikiran islam.
Begitu juga dengan adat-istiadat di masyarakat adat lainnya. Dalam masalah
mu’amalah, norma adat dan ajaran (baca hukum) islam mengalami perseteruan yang
drastis, berbeda dengan masalah ubudiyah yang sering terjadi tarik ulur antara
praktik adat dan ajaran islam. Sehingga terjadi banyak istilah menyangkut
keislaman masyarakat adat.
Di
Jawa ada istilah santri dan abagan sebagai Islam jawa. Hal ini, menurut MB.
Hooker, disebabkan Islam di Jawa kususnya dan indonesia umumnya mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan islam di Timur Tengah. Karena agama merupakan
gejala budaya dan social, sangat bergantung pada sosio-grafis masyarakatnya.
Intraksi antara hukum adat dan hukum islam, baik mu’amalah dan ubudiyah, lebih
disebabkan oleh faktor sosio-kultural dan sosio-geografis, Islam tidak menolak
adat selama itu tidak bertentangna denganya. Karena masyarakat sebelum memeluk
islam mempunyai adat-istiadat sendiri, sehingga adat yang ada disesuai dengan
ajaran islam. Untuk itu, perlu sinkronisasi diantara keduanya. Apalagi dalam
ranah hukum, selama hukum adat tidak bertentangan dengan hukum islam, maka
hukum adat dapat diterima, terutama dalam masalah mu’amalah.
E. AL-'ADAH
MUHAKAMAH
Salah satu keistimewaan Islam adalah
terletak pada ajarannya yang memberikan ruang yang cukup untuk menerima
masuknya unsur-unsur budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa oleh
para mubaligh ke wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya
menyingkirkan ajaran yang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi
memberikan ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal,
seperti antara lain pada masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan
budaya setempat nampak begitu mesra dan saling mengerti.
Adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya
lokal, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan
diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam
kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa
menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah
syari'at yang dapat dijadikan hukum).
Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, karena
tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal
yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam, sebagaimana
misi Islam sendiri sebagai pembebas manusia dari perbuatan syirik kepada
tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu
tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada tauhidullah. Dalam kaidah fikih
di atas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah
tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi
perdorong terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami
persinggungan dengan Islam. Berdasar kaidah fiqh ini pula, kita memperoleh
pesan kuat bahwa restrukturisasi dan dinamisasi pemahaman keagamaan Islam
hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-persoalan
masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan terus berkembang.
Dengan demikian, Islam selalu mendatangkan perubahan
masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang
lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya, dalam melakukan da'wah Islam di Jawa, dia
menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang
feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan
unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan
lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang
menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai
hasil dialog Islam dengan sistem budaya. Terdapatnya ritual tahlilan,
marhabaan, dan berbagai ekspresi dan iven budaya Islami lain umpamanya, semula
adalah produk budaya lokal yang kemudian menjadi bagian dari kehidupanj
masyarakat muslim Indonesia yang tidak mungkin lagi dihilangkan. Tentu saja
eksistensi budaya keagamaan ini adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan
syarat, hal tersebut tidak menghilangkan atau tidak mengganti ajaran tauhid
terutama Rukun Iman dan ritual-ritual pokok (ibadah makhdloh terutama Rukun
Islam) serta tidak merusak nilai fundamental dari akhlak Islam.
1.
PENGERTIAN AL-ADAH MUHAKKAMAH
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار )[9]
Adapun
definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور
المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
"Sesuatu
ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara yang berulang-ulang yang
bisa diterima oleh tabi'at (perangai) yang sehat"[10]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah
lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan,
ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[11]
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat
dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu
keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1.
Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2.
Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci
menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi
syarat-syarat berikut :
1. Tidak
bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah
berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak
berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf
tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak
bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[12]
Sebagaimana dimaklumi bahwa nash, baik Al-Qur'an maupun
As-Sunnah memiliki keistimewaan, di antaranya memberikan ruang dan tempat yang
cukup agar manusia dapat mengatur sendiri hal-hal teknis yang paling pas untuk
manusia sendiri pada ruang, tempat dan waktu yang berbeda. tidak seluruhnya
secara jelas dan tegas dalam menentukan batasan sampai kepada hal-hal teknis
suatu paket ibadah tertentu. Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak menjelaskan
ketentuan seberapa lama muwalah antara akhir ayat dengan awal ayat, antara dua
khuthbah jum'ah, antara ijab dan qobul dalam aqad nikah dan sebagainya.
Demikian pula tidak ada ketentuan yang menjelaskan ukuran sedikit atau
banyaknya gerakkan atau ucapan yang membatalkan shalat, lamanya waktu haid dan
nifas, dan lain sebagainya.
Batasan-batasan tersebut ditentukan berdasarkan adat
kebiasaan yang berlaku baik pada masyarakat secara menyeluruh, atau daerah
tertentu atau kebiasaan secara individu. Berikut ini adalah beberapa contoh
penentuan batasan, ukuran, atau hukum yang ditentukan dengan kaidah al-'adah
muhakkamah :
1. Jumlah
gerakan yang membatalkan shalat. Sedikit (qillah) atau banyak (katsir)-nya
gerakan yang membatalkan shalat yang ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum pada masyarakat. Adat masyarakat Arab menentukan bahwa bilangan
mulai dari 3 (tiga) termasuk bilangan jamak atau banyak, maka 3 (tiga) kali
gerakan secara terus menerus itu membatalkann shalat.
2. Ukuran
minimal najis yang dikatagorikan ma'fuw (diampuni). Untuk mengetahui sedikit
banyaknya najis ini semuanya dikembalikan kepada penilaian adat. Jika adat
menganggap sedikit, maka najis itu termasuk najis yang ma'fuw.
3.
Menentukan muwalah (terus menerus) antara anggota wudlu yang wajib dibasuh bagi
orang yang langgeng hadats (daimul hadats), antara dua shalat fardlu yang
dijama', antara dua khuthbah, antara khuthbah dengan shalat jum'at, antara ijab
qobul dalam nikah, antara ijab qabul dalam jual beli, antara ayat-ayat dalam
Surat Al- Fatihah ketika membacanya dalam shalat. Ukuran muwalah untuk
masing-masing tersebut ditentukan oleh adat yang berlaku pada masing-masing.
4. Standar
takaran atau timbangan. Untuk menentukan jenis timbangan atau takaran,
sepenuhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat. Mengukur kain diukur menurut
kebiasaan, ada yang menggunakan meteran atau ada juga di antaranya dengan
kiloan, tergantung pada kebiasaan yang berlaku.
5. Ukuran
atau kadar yang boleh dimakan atau diminum oleh tamu atas hidangan yang
disuguhkan tuan rumah. Apakah boleh dimakan, diminum, atau diambil semuanya.
Ukuran hidangan yang boleh dimakan oleh tamu adalah sesuai kebiasaan Menurut
kebiasan makanan yang dihidangkan tidak dimakan semuanya. Air minum yang
dihidangkan dalam gelas atau cangkir boleh diminum semuanya. Tamu biasanya
tidak mengambil untuk dibawa pulang, kecuali tuan rumah menyuruhnya.
F. Pengaruh sosiologis terhadap ijtihad
Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan
sempurna, sehingga tidak ada satu permasalahanpun yang timbul di dunia ini
kecuali harus dipecahkan hukumnya. Allah Swt. telah menurunkan syari’at-Nya
kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang berupa Al-Qur’an, agar
manusia dapat meyakini, menghayati dan mengamalkannya, untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat Perkembangan syari’at Islam
setelah Nabi Muhammad Saw. hanya merupakan perluasan dan penjabaran terhadap
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dalam al- Qur’an, berupa kaidah-kaidah
yang universal, kemudian diterapkan kepada peristiwaperistiwa baru yang muncul
dihadapan umat Islam. Hukum Islam akan selalu sesuai dengan perkembangan jaman
dan tempat, hal ini sesuai dengan kaidah Ushul yan berbunyi “ Al-hukmu
Tagayyurun Bitagayyuril-Amkan wal Azman”.
Hubungan teori hukum dan perubahan sosial
merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang
karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak
berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan
adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga
mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya
menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
Al-Qur’an jika dilihat dari segi pemahamannya dalam
kaitan dengan hukum, ada dua kemungkinan, yaitu nash-nash yang mempunyai nilai
Qath’i Ad-Dalalah dan nilai Dzaniy Ad-Dalalah. Qath’i Ad-Dalalah adalah
nash-nash yang sudah jelas dan tegas hukumnya, sehingga tidak perlu penafsiran
lagi, mengandung arti yang sarih dan bukan lapangan ijtihad. Sedangkag dzany
Ad-Dalalah nash-nash yang mempunyai nilai Dzany (umum), sehingga bisa
ditafsirkan atau ditakwilkan makna lain dari arti yang tercantum dalam lafadz
itu sendiri, dan ini merupakan lapangan ijtihad. Karena itu dalam penetapan
hukum dari nash-nash yang dzany, ulama sering berbeda pendapat dan berbeda pula
dalam menjabarkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi meskipun
para ulama berbeda pendapat dalam menjabarkan hukum, mereka pada dasarnya ingin
mencari kemaslahatan bagi umat manusia, agar manusia beramal sesuai dengan
keadilan, rahmah dan hikmah secara keseluruhan untuk di dunia dan akhirat. Hal
inilah yang mendorong para Ulama untuk berijtihad dengan sungguh - sungguh dalam
menjabarkan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an/al-Hadits yang bersifat dzany agar
sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, sehingga banyak menghasilkan karya
yang berupa kitab-kitab, baik berupa kitab fiqh, kitab tafsir, kitab tasauf,
kitab tauhid, kitab hadits, kitab ulumul hadits, kitab ushul fiqh, kitab ulumul
qur’an, kitab filsafat dan lain sebaganya.
Dari sekian banyak para ulama yang telah berijtihad
untuk menggali hukum dan telah menghasilkan karya-karyanya yang berupa
kitab-kitab fiqh, diantaranya adalah Imam Syafi’i. Karya-karya imam Syafi’i
yang monumental dalam mengistinbatkan dan menggali hukum dari nash-nash yang
bersipat dzany, banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
karena beliau banyak belajar dari satu guru ke guru lainnya, dari satu negri ke
negri lainnya. Beliau pernah belajar di Makkah kepada Muslim bin Khalid
Az-Zanji dan Saufyan bin Uyainah, di Madinah kepada Malik bin Annas dan Ibrahim
ibnu Sa’ad al-Anshari, di Irak kepada Muhammad bin Hasan Qadhi Yusuf (murid imam
Hanafi), di Yaman kepada Umar bin Abi Salamah (mazha Auza’i) dan Yahya bin
Hasan (mazhab Leits). Faktor pendukung lainnya adalah faktor geografis dan
iklim, faktor kebudayaan dan adat istiadat, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya
keadaan alam, umat, adat istiadat dan akidah, tidaklah selamanya tetap (langgeng) dalam suatu
keadaan atau sistem, melainkan akan selalu berubah-ubah sepanjang jaman dan
berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Hal tersebut sebagai mana
terjadi pada manusia, waktu dan tempat, juga terjadi pada alam, daerah, dan
negara.
Demikian Sunnah Allah terhadap alam ini.Akibat dari
faktor ilmu pengetahuan, faktor geografis dan iklim, factor kebudayaan dan adat
istiadat yang berbeda, maka hasil ijtihad imam Syafi’i berbeda pula pendapatnya
ketika beliau berada di Irak dengan ketika beliau berada di Mesir. Perbedaan
pendapat tersebut tertuang dalam qaul qadim dan qaul jadid. Kedua fatwa
ini merupakan karya imam Syafi’i yang sangat besar yang kedua-duanya didasari
dengan hadits-hadits yang shahih. Imam Syafi’i telah memberikan fatwa dalam qaul
qadim dan kaul jadid adalah sebagai jawaban terhadap kondisi dan situasi yang berbeda
yang ada pada waktu itu, yang ke dua-duanya mempunyai alasan yang kuat. Oleh
karena itu antara qaul qadim dan qaul jadid sering terjadi perbedaan pendapat.
Dengan demikian apabila terjadi perbedaan diantara dua qaul yang yang sama-sama
dilandasi dengan dalil yang kuat, maka harus ada yang kalah dari salah satu
diantara dua dalil tersebut.
Perubahan-perubahan hukum antara qaul qadim dengan
qaul jadid Imam Syafi’I pada intinya didorong karena adanya perubahan sosial
masyarakat itu sendiri. Seperti adat istiadat dan kebudayaan di Irak berbeda
dengan adat istiadat dan kebudayaan di Mesir, sehingga perbedaan tersebut
menyebabkan berbeda pula dalam menghasilkan hukum. Hal ini menandakan Imam
Syafi’i sangat tanggap terhadap situasi dan kondisi yang berbeda di satu tempat
dengan tempat lainnya, tidak terpaku kepada qaul qadim yang telah beliau
fatwakan ketika masih di irak, sehingga karena di mesir kondisinya berbeda
dengan yang ada di irak, maka beliau mengkaji ulang fatwa tersebut. Seperti
yang digambarkan dalam skema berikut ini
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan
:
Pada kolom A, yaitu fatwa Imam Syafi’i dalam Qaul
Qadim ketika beliau berada di Irak, namun ketika beliau berada di Mesir, Imam
Syafi’i menemukan kebudayaan (adat istiada) dan geografisnya berbeda dengan
yang ada di Irak, sebagaimana tercantum dalam kolom B, akibatnya maka lahirlah
fatwa Imam Syafi’i yang baru yang disebut dengan qaul Jadid, seperti tercantum
dalam kolom C. Pada kolom D, dicari alternatif penggunaan hukum antara qaul
Qadim dengan qaul Jadid, mana yang akan dijadikan sebagai pegangan, karena itu
Penulis menjadikan sejajar antara qaul Qadim dengan qaul Jadid berada dalam
saja qaul Qadim dijadikan sebagai sumber hukum, karena yang menentukan berlaku
dan tidaknya qaul Qadim adala kondisi dan situasi daerah itu sendiri, mana yang
lebih maslahat untu diberlakukan sebagaimana tertera dalam kolom F.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
perbedaan pendapat diantara para Imam Mujtahid dalam mengistinbatkan hukum
karena adanya ayat Al-Qur’an atau al- Hadits yang bersifat dzani. Dalam mazhab
Syafi’i selain disebabkan karena ayat al- Qur’an dan al-Hadits bersifat dzani,
banyak pula yang dipengaruhi oleh faktor geografi, faktor kebudayaan dan adat
istiadat dan faktor ilmu pengetahuan.
1. Faktor Geografis
Faktor
geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukanhukum Islam.
Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan perkembangan
daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan iklim
di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan
fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid,
membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi. [13]
Ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits berkembang dalam
dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahlu rayi dengan pelopornya
Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdah yang metropolitan,
sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul
akibat kompleksitas kehidupan kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya
menulis kitab-kitab fiqh yang lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam
Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup
masyarakatnya lebih sederhana, ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang
beredar di kota ini, cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau
akal”.
Pendapat Atho Mudzhar di atas, menunjukan bahwa
berbeda geografis kota akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota
yang secara geografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan
hukum disbanding dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli
tasauf. Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula
pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota
yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana
dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam
pembentukan hukum pada daerah itu sendiri. Mesir secara geografis lebih subur
dibandingkan dengan Irak, karena adanya sungai nil yang selalu meluap, di Mesir
air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan dengan di Irak. Oleh karena itu
dalam masalah yang ada kaitannya dengan air (iklim), seperti thaharah,
berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan lain sebagainya, Imam Syafi’i
telah mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.
Yang lebih menitikberatkan kepada penekanan harus dikerjakan, karena menganggap
tidak mungkin air tidak didapati. Dengan demikian karena di Mesir dengan gampangnya
mendapatkan air, maka dalam keadaan bagaimanapun perintah Allah yang ada
kaitannya dengan masalah thaharah harus dikerjakan, sedangkan di Irak yang
kurang subur bila dibandingkan dengan di Mesir, agak sulit mendapatkan air,
maka perintah Allah bisa saja ditunda atau tidak tikerjakan sama sekali. Salah
satu contoh fatwa Imam Syafi’i adalah sebagai berikut: “ Apabila datang waktu
shalat, sedangkan air dan tanah tidak didapati, maka menurut qaul jadid
sholatlah apa adanya dan ulangi shalatnya jika telah didapati air, sedangkan
menurut qaul qadim jangan shalat jika air dan tanah tidak ada”. Ke dua fatwa
ini jelas sangat berbeda dan saling bertentangan , padahal dalam kasusnya sama,
yaitu tidak ada air. Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat
dipengaruhi oleh keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan
berbeda dengan daerah yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan
daerah kering. Begitu juga akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan
kota tempat imam mujtahid tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup
disuatu kota akan berbeda dengan kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa
saja, kota yang lebih modern akan berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila
dibandingkan dengan kota yang sederhana dan tertingal.
2. Faktor
Kebudayaan dan Adat Istiadat
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat
mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya
negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai
tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing
yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka
telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran) antara kebudayaan (adat
istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan
akibat lain dari hukum Islam itu sendiri. Walaupun masyarakat telah mempunyai
kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqaha dapat pula
menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi
perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua
system yang ditempuh oleh fuqaha dalam memberikan hukum. Menurut Harun Nasution
(1979:14)“ Penafsiran-penafsiran itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang
ada di tempat dan jaman itu muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada
suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai
pemikiran dijaman tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain. Begitu juga
menurut Abdul Gani Abdullah (2000:22) “ Hubungan antara syari’ah dan peradaban
manusia pada satu segi dapat dikatakan kausalistik dengan dasar teoritis bahwa
(1) Syari’ah dalam kapasitasnya sebagai respon terhadap proses peradaban, maka
antara syari’ah dan peradaban saling membutuhkan, (2) sebagai respon, syari’ah
terumuskan karena kebutuhan peradaban manusia, dan arah peradaban manusia
bergantung kepada syari’ah itu sendiri.
Kebudayaan dan adat istiadat Mesir lebih maju dan
lebih modern bila dibandingkan dengan kebudayaan Irak, karena bangsa Mesir
pernah dukuasai oleh bangsa Romawi yang kebudayaan dan teknologinya lebih
modern pada waktu itu, sedangkan Irak tidak pernah dikuasai oleh bangsa Romawi.
Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bangsa Romawi telah tertanam pada bangsa
Mesir, terutama masalah pergaulan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya,
oleh karena itu pergaulan sehari-hari di Mesir lebih terbuka, sedangkan di Irak
karena belum pernah dikuasai oleh bangsa lain, maka pergaulan sehari-harinya
lebih tertutup. Dengan budaya Mesir seperti itulah, maka pada waktu itu Imam
Syafi’ memberika fatwa kepada perempuan untuk bebas menuntuk ilmu sebagaimana
kaum laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum perempuan berduyun-duyun
menuntu ilmu pada Imam Syafi’i. Lain halnya ketika tinggal di Irak yang
pergaulannya lebih tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak
diberi kebebasan untuk menutut ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk menutut
ilmu sekedarnya saja, itupun kepada muhrimnya atau suaminya. Di Mesir pula Imam
Syafi’i menggabungkan dalam satu ruangan antara pelajar laki-laki dengan
pelajar perempuan, yang sebelumnya di Irak pelajar laki dengan pelajar perepuan
selalu terpisah. Dengan demikian sangat jelas bahwa kebudayaan dan adat
istiadat suatu bangsa sangat menentukan dan mempengaruhi terhadap hasil ijtihad
seorang mujtahid, hal itu telah buktikan oleh Imam Syafi’i yang merubah hasil
ijtihadnya ketika berada di Irak dengan ijtihadnya yang baru ketika berada di
Mesir.
3. Faktor
Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil
ijtihad para imam mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli
hadits, karena beliau belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di Madinah,
Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah di Irak. Dengan faktor
ilmu pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak
sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu. Karena
pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda dengan gurunya yang ada di Madinah
sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi
Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya sendiri.
Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin
bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukan fikiran kepada ulama-ulama Mesir.
Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i
menemukan ada dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan
dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di Irak. Oleh karena itu Imam
Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat kembali fatwa-fatwa beliau
ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa beliau yang
dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.
Ilmu pengetahuan seorang imam mujtahid akan
menentuka terjadinya perubahan
dalam
pembentukan hukum Islam. Sebagai contoh Imam Malik bin Anas yang ahli Hadits
fatwanya berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang ahli Ra’yu, sekalipun dalam kasus
yang sama. Hal yang sama telah dipraktekan oleh Imam Syafi’i sendiri, ketika
beliau di Hijaz Imam Syafi’i memberikan fatwa yang dilandsai dengan d
alil-dalil al- Qur’an dan As-Sunnah, tidak dilandasi dengan ra’yu, karena pada
waktu itu beliau belum mengetahui tentang ra’yu, tetapi ketika beliau sudah
berada di Irak dan telah belajar tentang ahli ra’yu, maka beliau merubah
sendiri fatwanya yang dilandasi dengan pendapat ra’yu, begitu juga setelah di
Mesir beliau menemukan hadits yang lebih kuat yang sebelumnya di Hijaz atau di
Irak tidak menemukan hadits tersebut, maka beliau merubah kembali fatwa beliau
yang telah dikeluarkan di Irak.
BAB III
KESIMPULAN
Metodologi istinbat hukum melalui qiyas, adalah sebagai
upaya ijitihad Imam seorang mujtahid dalam menghadapi peristiwa-peristiwa baru
yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Peristiwa-peristiwa baru
tersebut timbul Karena berkembangnya beradaban kebudayaan manusiadan, faktor
perbedaan alam, sehingga hukum Islam dituntut untuk memecahkan masalah-masalah
baru yang tidak terdapat adalam Al- Qur’an dan As-Sunah. Sesuai dengan kaidah
yang berbunyi “Hukum itu selalu berubah, sesuai dengan perubahan tempat dan
zaman”. Sebagai contoh Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul
jadid dapat terjadi, karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut untuk
berijtihad tersendiri, dan fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil
ijtihad terakhir serta tidak terikat dengan fatwa terdahulu. Perubahan fatwa
Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid, karena dilatar belakangi oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor geografis, faktor kebudayaan dan adat
istiadat, faktor ilmu pengetahuan, faktor metodologi dan faktor tuntutan dari
murid Imam Syafi’i. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas, jelas tampak
pada keragaman masalah yang dibahasnya, setiap kali menghadapi kasus-kasus yang
aktual, Imam Syafi’i melakukan ijtihad dengan mempergunakan dalil, kaidah dan
sisi pandang yang paling tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-aspek
Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta,
2006
Azyumardi
Azra, Islam Substantif, Mizan, Bandung, 2000
H.A.
Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, cet. Ke-2, 2007
Rachmat
Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, cet.
Ke-3, 2007
Sodjono Dirdjosiswono, Sosiologi Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, 1983
Soerjono
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003
Yusuf
al Qardlawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, Bulan bintang, Jakarta, 1997
Yusuf al Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya, 2000
Yusuf al Qardhawi, Fatwa- Fatwa kontemporer, Gema
Insani, Jakarta, 1995
http://syakhsiyah.wordpress.com/page/2/Asjmuni Abdurrachman, “ Islam
Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada tanggal 19
desember 2011 dari http: //islamlib.com /id/ index.php?page = article&id/html.
[1] Yusuf al Qardlawi, Ijtihad
Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal 2
[2]
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum,
( Jakarta: Kencana, 2006), h. 226-227
[3] Yusuf al Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, h. 24
[4] Asjmuni Abdurrachman, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman
(2)”, artikel ini diakses pada tanggal 19 desember 2011 dari http//
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id/html.
[7] Yusuf al
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (
Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 13
[8] Soerjono
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h.100-101.
[9] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007), hlm. 79
[10] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah
Fikih, hlm. 79-80
[11] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih,
hlm. 79-80
[12] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu
Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 291
[13] HM.Atho Muzhar, Mimbar Hukum, hal 23
No comments:
Post a Comment