Saturday 10 November 2012

pengaruh sosiologi terhadap ijtihad ulama



PENGARUH SOSIOLOGIS TERHADAP IJTIHAD ULAMA
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian sosiologis
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum. Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan.
Akhir-akhir ini semakin berkembang kecenderungan untuk menggunakan sosiologi sebagai alat perubahan sosial lewat gerakan sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Kecenderungan ini semakin menguat setelah menyadari bahwa kemajuan ilmu selama ini makin jauh dari harapan kemanusiaan. Semakin modern kehidupan sekarang, makin banyak yang terpinggirkan dan dirugikan. Dengan demikian, sosiologi memperluas tanggung jawab, bukan hanya sebatas menjelaskan fenomena sosial, akan tetapi sekaligus terlibat langsung dalam melakukan perubahan sosial secara praxis.


B.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata جَهَدَ artinya mencurahkan segala kemampuan atau “menanggung beban kesulitan”. Arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan.
Adapun arti ijtihad menurut istilah ushul fiqh, para ahli ushul fiqh memberikan banyak definisi yang berbeda. as Syaukani dalam bukunya Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hokum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hokum).[1]
Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.
Jadi kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru yang muncul, kondisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang dan selama syariat Islam masih cocok setiap masa dan tempat serta masih harus menetapkan hokum setiap perkara manusia. Terutama zaman sekarang ini lebih membutuhkan kepada ijtihad bila dibandingkan dengan zaman dahulu, karena terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan social setelah revolusi industry, perkembangan teknologi dan lain sebagainya
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor:
  1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
  2. Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
  3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
  4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.
Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Sunnah. [2]
Menurut DR Yusuf al-Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu:[3]
a.       Ijtihad Intiqa’I,  ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan, yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu harus mengandung syarat berikut ini:
1.         sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2.         sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3.         sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4.         sesuai dengan kemaslahatan.
b.      Ijtihad Insya’I, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut ‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh. Bakhit Al Mu’thi. Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad. [4]

C.     Perubahan Sosial
Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih dipergunakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan social. Kebutuhan - kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial:
  1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
  2. Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[5]
Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam masyarakat dan lain sebagainya. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang sama.[6]
Menurut Yusuf al-Qardhawi ada dua bidang baru untuk ijtihad yaitu : bidang ekonomi dan keuangan dan  bidang Ilmiyah dan Kedokteran.
1.      Bidang Ekonomi dan keuangan
Abad kita ini sungguh telah penuh dengan aneka problematika bisnis dan perseroan-perseroan baru dalam bidang ekonomi dan keuangan yang belum pernah dikenal ooleh orang yang hidup dizaman dahulu. Bahkan belum pernah dikenal oleh orang-orang yang hidup paling dekat dengan zaman kita sekarang ini. Sebagai contoh, perserikatan bisnis dengan berbagai bentuknya seperti asosiasi saham dan perseroan terbatas serta lain-lainnya, juga perserikatan modern dengan berbagai macam bidangnya. seperti asuransi yang beraneka ragam bentuknya; asuransi jiwa, harta benda dsb. Begitu pula bank dengan beraneka ragam.
2.      Bidang pengetahuan dan kedokteran
Suatu hal yang dimaklumi bahwa ilmu pengetahuan modern dengan segala temuannya yang canggih dan kemajuan tekhnologi yang demikian pesat ditambah dengan potensi yang dimiliki manusia yang serupa dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa lalu,terutama dibidang kedokteran akan menimbulkan berbagai macam problem yang menuntut kita menemukan alternative penyelesaian dan pemecahan menurut agama Islam. Sekaligus menuntut seorang mujtahid modern untuk mencurahkan segenap kemampuannya dan potensinya untuk menggali hokum yang sesuai dan rielevan dengan persoalan-persoalan tersebut.
            Sebagai contoh permasalahan baru yang timbul dikalangan masyarakat modern salah satunya yaitu pencangkokan oorgan tubuh, pencangkokan organ tubuh adalah termasuk bidang kedokteran yang mengalami perkembangan demikian cepat. Tujuan transplantasi itu adalah untuk menyelamatkan kehidupan atau berusaha memperbaiki kualitas kehidupannya, seperti menjadikan seseorang yang tadinya buta bias meliihat kembali dsb. Maka disini akan timbul berbagai pernyataan seperti ; (1) apakah kita diperbolehkan mengadakan transplantasi seluruh atau sebagian organ tubuh binatang bagi manusia? (2) apakah boleh seorang muslim boelh mendonorkan salah satu anggota tubuhnya kepada anaknya padahal ia masih hidup? (3) bolehkah seorang muslim menyetujui organ tubuhnya diambil yang nantinya di donorkan kepada orang lain yang masih hidup, manakala ia sudah meninggal? (4)bolehkan orang-orang islam mendermakan organ tubuhnya sesudah meninggal untuk di cangkok demi kepentingan penelitian akademis? Dll. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer seperti tersebut diatas dibutuhkan ada ijtihad yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang berkembang saat ini.[7]
Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[8]

  1. Interaksi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat
Sebagai masyarakat sosial manusia harus saling berinteraksi antar sesama tanpa melihat agama, adat, ras, gologan serta beberapa bentuk strata sosialnya lainnya, sebab manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Dalam kaitannya dengan kajian hukum Islam maka hal tersebut harus dibedakan, bukan karena ingin membagi masysrakat dalam kelas-kelas tersebut tetapi kita lebih pada pendekatan sosiologi hukum, bukan sosiologi secara umum. Oleh karena itu, kajian ini lebih mendekati pada sosiologi hukum Islam dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat lokal yang mempunyai budaya sendiri dilain pihak.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan waktu dan zaman (likulli waktin wa zamanin) harus berintekrasi dengan masyarakat yang sebelumnya mempuanyai tata adat sendiri. Untuk menemukan benang merah antar keduanya perlu kita ketahui maksud dan tujuan hukum Islam yang terkenal dengan istilah maqashid as-syari’ah. Secara umum maksud dan tujuan dari hukum Islam (maqashid as-syari’ah) adalah untuk kemashlahatan manusia di dunia. Hal ini harus di artikan secara luas, maksudnya, pada dasarnya hukum islam hendak mewujudkan kebaikan kehidupan hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun sosial.
Para ulama mengklasifikasikan maqashid as-syari’ah menjadi lima bagian aspek pokok (al-kulliyat al-khamsah), yakni:
1.      Kemashlahatan agama,
2.      Jiwa,
3.      Akal
4.      Keturunan/kehormatan atau harga diri,
5.      Harta.
Lima hal inilah yang secara umum harus dipelihara oleh hukum Islam, memelihara dan menjaga lima hal ini akan mendatangkan mashlahat, sebaliknya mengabaikan lima ini akan mendatangkan mafsadat. Sebelum agama-agama besar di dunia memasuki Indonesia, kususnya Islam, adat di Indonesia dipengaruhi oleh kepercayaan asli bangsa Indonesia, yakni animesme. Kepercayaan masyarakat adat terhadap hal-hal gaib dan mistis sangat kental, tak heran bila mereka banyak melakukan ritual-ritual yang tidak ajarkan oleh agama.
Bila dikaitkan dengan prilaku hidup masyarakat adat, maka yang harus menjadi patokan dalam adalah lima hal tersebut. Selama adat-istiadat dari masyarakat tidak bertentangan, Ia dapat diterima oleh Islam. Namun, karakteristik dari masyarakat adat tradional adalah mempercayai hal-hal ghaib dan supranatural. Berbeda dengan masyarakat adat saat ini yang sebagian besar telah memeluk agama, kehidupan sosial lebih terbuka dan menerima perkembangan zaman. Namun, keterbukaan terhadap budaya lain bisa mengandung unsur positif dan negatif. Positifnya adalah budaya dari luar bisa mendorong dinamika sosial. Negatifnya, sebagai akibat, dapat merentankan hal-hal yang tidak sesuai dengan pola pikir dan paradigma serta adat-istiadat. Begitu juga dengan interaksi islam dan budaya lokal, tentu terdapat kemungkinan islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin juga islam yang justru diwarnai oleh berbagai budaya lokal .
Dalam hukum adat, ada ketentuan-ketentuan khusus sebagai hukuman yang diberikan kepada mereka yang melanggar. Pengucilan, misalnya, adalah hal yang paling gampang ditemui dimasyarakat adat saat ini, dilakuakan kepada mereka yang melanggar norma adat, seperti besikap curang saat melakukan transaksi jual beli atau melakukan hal-hal yang amoral seperti tidak hormat pada orang tua. Disini hukum adat lebih bersifat individual atau prifat. Sebenarnya, tidak ada aturan yang mewajibkan untuk mengucilkan mereka yang melanggar norma adat tersebut, karena, seperti telah disinggung diatas, hukum ada bukanlah hukum tertulis, melainkan merupakan aturan yang dikerenakan persamaan persepsi atau pola pikir. Secara tidak langsung adat dan budaya lebih pada kesepatan umum dari masyarakat adat. 
Konsekuensi tersebut terdapat juga dalam hukum islam. Islam misalnya mengajarkan agar tidak melakukan riba atau mengurangi timbangan. Tidak ada ketentuan yang hukum yang pasti terhadap pelaku riba dan pengurang timbangan, hanya saja hukum yang akan diterima oleh pelaku adalah kelak diakhirat. Atau tidak hormat pada orang tua, dalam islam tidak ada ketentuan pasti yang mengharuskan hukuman bagi pelaku, namun hukuman itu akan diterima kelak diakhirat. Inilah yang membedakan antra hukum adat dan hukum islam. Hukum adat tidak mempunyai dasar normatif, sedang hukum islam mempunyai dasar normatif yang menjadi rujukan seluruh umat islam. Jika kita melihat perkembangan hukum adat saat ini, banyak sekali unsur-unsur norma-norma agama kemudian dijadikan sebagai hukum adat itu sendiri. Banyak para pemerhati hukum adat terkini kurang memperhatikan hukum murni dari adat tersebut, mereka lebih pada perkembangan hukum adat setelah mengalami akulturasi dengan hukum atau budaya lain. Hal ini dikarenakan pergeseran budaya masyarakat yang semakin pesat, sehingga sulit menemukan antara norma asli adat dan norma hasil akulturasi. Misalnya akulturasi pemikiran terjadi di minangkabau, bahwa pergesaran kehidupan sosial masyarakat dalam bidang keilmuaan dan pendidikan semenjak hadirnya sekolah-sekolah formal agama merentankan citra surau yang dianggap jelek karena melambangkan keterbe-lakanngan.
Di minangkabau sendiri proses akulturasi mengalami tarik ulur, misalnya tentang masuknya ajaran islam yang memposisikan suami sebagai kepala rumah tangga, sedang adat minangkabau bersifat matrineal (garis ibu). Salah satu yang melakukan kritikan itu adalh Hamka. Sebagaimana yuang dikutip Dr. Chairul Anwal bahwa menurut Hamka, susunan menurut adat (sistem susunan mamak) itu sudah merupakan fosil, sudah tidak laku lagi. Revolusi adat tawaran Hamka kemudian mengalami keberhasilan meski samar-samar . Namun hal ini menunjukkan bahwa semakin dewasa pola pikir masyarakat semakin keluar dari tradisi lama mereka. Perubahan progresif selalu menjadi harapan, meski itu tidak serta merta. Meski adat minangkabau seperti diatas awalnya bukan merupakan kesadaran masyarakat menuju perubahan, namun kesadaran beragama mereka sangat kental, ini dibuktikan dengan berubahnya corak masyarakat bersamaan perkembangan pemikiran islam. Begitu juga dengan adat-istiadat di masyarakat adat lainnya. Dalam masalah mu’amalah, norma adat dan ajaran (baca hukum) islam mengalami perseteruan yang drastis, berbeda dengan masalah ubudiyah yang sering terjadi tarik ulur antara praktik adat dan ajaran islam. Sehingga terjadi banyak istilah menyangkut keislaman masyarakat adat.
Di Jawa ada istilah santri dan abagan sebagai Islam jawa. Hal ini, menurut MB. Hooker, disebabkan Islam di Jawa kususnya dan indonesia umumnya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan islam di Timur Tengah. Karena agama merupakan gejala budaya dan social, sangat bergantung pada sosio-grafis masyarakatnya. Intraksi antara hukum adat dan hukum islam, baik mu’amalah dan ubudiyah, lebih disebabkan oleh faktor sosio-kultural dan sosio-geografis, Islam tidak menolak adat selama itu tidak bertentangna denganya. Karena masyarakat sebelum memeluk islam mempunyai adat-istiadat sendiri, sehingga adat yang ada disesuai dengan ajaran islam. Untuk itu, perlu sinkronisasi diantara keduanya. Apalagi dalam ranah hukum, selama hukum adat tidak bertentangan dengan hukum islam, maka hukum adat dapat diterima, terutama dalam masalah mu’amalah.

E.     AL-'ADAH MUHAKAMAH
Salah satu keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa oleh para mubaligh ke wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan ajaran yang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal, seperti antara lain pada masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan budaya setempat nampak begitu mesra dan saling mengerti.
Adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syari'at yang dapat dijadikan hukum).
Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam, sebagaimana misi Islam sendiri sebagai pembebas manusia dari perbuatan syirik kepada tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada tauhidullah. Dalam kaidah fikih di atas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi perdorong terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam. Berdasar kaidah fiqh ini pula, kita memperoleh pesan kuat bahwa restrukturisasi dan dinamisasi pemahaman keagamaan Islam hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-persoalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan terus berkembang.
Dengan demikian, Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya, dalam melakukan da'wah Islam di Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya. Terdapatnya ritual tahlilan, marhabaan, dan berbagai ekspresi dan iven budaya Islami lain umpamanya, semula adalah produk budaya lokal yang kemudian menjadi bagian dari kehidupanj masyarakat muslim Indonesia yang tidak mungkin lagi dihilangkan. Tentu saja eksistensi budaya keagamaan ini adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat, hal tersebut tidak menghilangkan atau tidak mengganti ajaran tauhid terutama Rukun Iman dan ritual-ritual pokok (ibadah makhdloh terutama Rukun Islam) serta tidak merusak nilai fundamental dari akhlak Islam.
1.      PENGERTIAN AL-ADAH MUHAKKAMAH
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار )[9]
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
"Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabi'at (perangai) yang sehat"[10]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[11]
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[12]
Sebagaimana dimaklumi bahwa nash, baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah memiliki keistimewaan, di antaranya memberikan ruang dan tempat yang cukup agar manusia dapat mengatur sendiri hal-hal teknis yang paling pas untuk manusia sendiri pada ruang, tempat dan waktu yang berbeda. tidak seluruhnya secara jelas dan tegas dalam menentukan batasan sampai kepada hal-hal teknis suatu paket ibadah tertentu. Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak menjelaskan ketentuan seberapa lama muwalah antara akhir ayat dengan awal ayat, antara dua khuthbah jum'ah, antara ijab dan qobul dalam aqad nikah dan sebagainya. Demikian pula tidak ada ketentuan yang menjelaskan ukuran sedikit atau banyaknya gerakkan atau ucapan yang membatalkan shalat, lamanya waktu haid dan nifas, dan lain sebagainya.
Batasan-batasan tersebut ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku baik pada masyarakat secara menyeluruh, atau daerah tertentu atau kebiasaan secara individu. Berikut ini adalah beberapa contoh penentuan batasan, ukuran, atau hukum yang ditentukan dengan kaidah al-'adah muhakkamah :
1. Jumlah gerakan yang membatalkan shalat. Sedikit (qillah) atau banyak (katsir)-nya gerakan yang membatalkan shalat yang ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum pada masyarakat. Adat masyarakat Arab menentukan bahwa bilangan mulai dari 3 (tiga) termasuk bilangan jamak atau banyak, maka 3 (tiga) kali gerakan secara terus menerus itu membatalkann shalat.
2. Ukuran minimal najis yang dikatagorikan ma'fuw (diampuni). Untuk mengetahui sedikit banyaknya najis ini semuanya dikembalikan kepada penilaian adat. Jika adat menganggap sedikit, maka najis itu termasuk najis yang ma'fuw.
3. Menentukan muwalah (terus menerus) antara anggota wudlu yang wajib dibasuh bagi orang yang langgeng hadats (daimul hadats), antara dua shalat fardlu yang dijama', antara dua khuthbah, antara khuthbah dengan shalat jum'at, antara ijab qobul dalam nikah, antara ijab qabul dalam jual beli, antara ayat-ayat dalam Surat Al- Fatihah ketika membacanya dalam shalat. Ukuran muwalah untuk masing-masing tersebut ditentukan oleh adat yang berlaku pada masing-masing.
4. Standar takaran atau timbangan. Untuk menentukan jenis timbangan atau takaran, sepenuhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat. Mengukur kain diukur menurut kebiasaan, ada yang menggunakan meteran atau ada juga di antaranya dengan kiloan, tergantung pada kebiasaan yang berlaku.
5. Ukuran atau kadar yang boleh dimakan atau diminum oleh tamu atas hidangan yang disuguhkan tuan rumah. Apakah boleh dimakan, diminum, atau diambil semuanya. Ukuran hidangan yang boleh dimakan oleh tamu adalah sesuai kebiasaan Menurut kebiasan makanan yang dihidangkan tidak dimakan semuanya. Air minum yang dihidangkan dalam gelas atau cangkir boleh diminum semuanya. Tamu biasanya tidak mengambil untuk dibawa pulang, kecuali tuan rumah menyuruhnya.

F.     Pengaruh sosiologis terhadap ijtihad
Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak ada satu permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya. Allah Swt. telah menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang berupa Al-Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan mengamalkannya, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat Perkembangan syari’at Islam setelah Nabi Muhammad Saw. hanya merupakan perluasan dan penjabaran terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dalam al- Qur’an, berupa kaidah-kaidah yang universal, kemudian diterapkan kepada peristiwaperistiwa baru yang muncul dihadapan umat Islam. Hukum Islam akan selalu sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, hal ini sesuai dengan kaidah Ushul yan berbunyi “ Al-hukmu Tagayyurun Bitagayyuril-Amkan wal Azman”.
Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
Al-Qur’an jika dilihat dari segi pemahamannya dalam kaitan dengan hukum, ada dua kemungkinan, yaitu nash-nash yang mempunyai nilai Qath’i Ad-Dalalah dan nilai Dzaniy Ad-Dalalah. Qath’i Ad-Dalalah adalah nash-nash yang sudah jelas dan tegas hukumnya, sehingga tidak perlu penafsiran lagi, mengandung arti yang sarih dan bukan lapangan ijtihad. Sedangkag dzany Ad-Dalalah nash-nash yang mempunyai nilai Dzany (umum), sehingga bisa ditafsirkan atau ditakwilkan makna lain dari arti yang tercantum dalam lafadz itu sendiri, dan ini merupakan lapangan ijtihad. Karena itu dalam penetapan hukum dari nash-nash yang dzany, ulama sering berbeda pendapat dan berbeda pula dalam menjabarkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menjabarkan hukum, mereka pada dasarnya ingin mencari kemaslahatan bagi umat manusia, agar manusia beramal sesuai dengan keadilan, rahmah dan hikmah secara keseluruhan untuk di dunia dan akhirat. Hal inilah yang mendorong para Ulama untuk berijtihad dengan sungguh - sungguh dalam menjabarkan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an/al-Hadits yang bersifat dzany agar sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, sehingga banyak menghasilkan karya yang berupa kitab-kitab, baik berupa kitab fiqh, kitab tafsir, kitab tasauf, kitab tauhid, kitab hadits, kitab ulumul hadits, kitab ushul fiqh, kitab ulumul qur’an, kitab filsafat dan lain sebaganya.
Dari sekian banyak para ulama yang telah berijtihad untuk menggali hukum dan telah menghasilkan karya-karyanya yang berupa kitab-kitab fiqh, diantaranya adalah Imam Syafi’i. Karya-karya imam Syafi’i yang monumental dalam mengistinbatkan dan menggali hukum dari nash-nash yang bersipat dzany, banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, karena beliau banyak belajar dari satu guru ke guru lainnya, dari satu negri ke negri lainnya. Beliau pernah belajar di Makkah kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji dan Saufyan bin Uyainah, di Madinah kepada Malik bin Annas dan Ibrahim ibnu Sa’ad al-Anshari, di Irak kepada Muhammad bin Hasan Qadhi Yusuf (murid imam Hanafi), di Yaman kepada Umar bin Abi Salamah (mazha Auza’i) dan Yahya bin Hasan (mazhab Leits). Faktor pendukung lainnya adalah faktor geografis dan iklim, faktor kebudayaan dan adat istiadat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah yang berbunyi :

Artinya : Sesungguhnya keadaan alam, umat, adat istiadat dan akidah, tidaklah  selamanya tetap (langgeng) dalam suatu keadaan atau sistem, melainkan akan selalu berubah-ubah sepanjang jaman dan berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Hal tersebut sebagai mana terjadi pada manusia, waktu dan tempat, juga terjadi pada alam, daerah, dan negara.
Demikian Sunnah Allah terhadap alam ini.Akibat dari faktor ilmu pengetahuan, faktor geografis dan iklim, factor kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda, maka hasil ijtihad imam Syafi’i berbeda pula pendapatnya ketika beliau berada di Irak dengan ketika beliau berada di Mesir. Perbedaan pendapat tersebut tertuang dalam qaul qadim dan qaul jadid. Kedua fatwa ini merupakan karya imam Syafi’i yang sangat besar yang kedua-duanya didasari dengan hadits-hadits yang shahih. Imam Syafi’i telah memberikan fatwa dalam qaul qadim dan kaul jadid adalah sebagai jawaban terhadap kondisi dan situasi yang berbeda yang ada pada waktu itu, yang ke dua-duanya mempunyai alasan yang kuat. Oleh karena itu antara qaul qadim dan qaul jadid sering terjadi perbedaan pendapat. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan diantara dua qaul yang yang sama-sama dilandasi dengan dalil yang kuat, maka harus ada yang kalah dari salah satu diantara dua dalil tersebut.
Perubahan-perubahan hukum antara qaul qadim dengan qaul jadid Imam Syafi’I pada intinya didorong karena adanya perubahan sosial masyarakat itu sendiri. Seperti adat istiadat dan kebudayaan di Irak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan di Mesir, sehingga perbedaan tersebut menyebabkan berbeda pula dalam menghasilkan hukum. Hal ini menandakan Imam Syafi’i sangat tanggap terhadap situasi dan kondisi yang berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, tidak terpaku kepada qaul qadim yang telah beliau fatwakan ketika masih di irak, sehingga karena di mesir kondisinya berbeda dengan yang ada di irak, maka beliau mengkaji ulang fatwa tersebut. Seperti yang digambarkan dalam skema berikut ini
Fiqh dalam qaul Qadim
 
Lahirlah fiqh dalam qaul jadid
 
Fiqh dalam qaul Jadid

 
A                                         B                                            C
                                                                                


Syariat islam itu sesuai dengan tuntutan zaman, kondisi, dan tempat
 
Qaul jadid
 
Qaul qadim
 
Alternative penggunaanya
 
D                                               E                                                 F



Keterangan :
Pada kolom A, yaitu fatwa Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim ketika beliau berada di Irak, namun ketika beliau berada di Mesir, Imam Syafi’i menemukan kebudayaan (adat istiada) dan geografisnya berbeda dengan yang ada di Irak, sebagaimana tercantum dalam kolom B, akibatnya maka lahirlah fatwa Imam Syafi’i yang baru yang disebut dengan qaul Jadid, seperti tercantum dalam kolom C. Pada kolom D, dicari alternatif penggunaan hukum antara qaul Qadim dengan qaul Jadid, mana yang akan dijadikan sebagai pegangan, karena itu Penulis menjadikan sejajar antara qaul Qadim dengan qaul Jadid berada dalam saja qaul Qadim dijadikan sebagai sumber hukum, karena yang menentukan berlaku dan tidaknya qaul Qadim adala kondisi dan situasi daerah itu sendiri, mana yang lebih maslahat untu diberlakukan sebagaimana tertera dalam kolom F.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perbedaan pendapat diantara para Imam Mujtahid dalam mengistinbatkan hukum karena adanya ayat Al-Qur’an atau al- Hadits yang bersifat dzani. Dalam mazhab Syafi’i selain disebabkan karena ayat al- Qur’an dan al-Hadits bersifat dzani, banyak pula yang dipengaruhi oleh faktor geografi, faktor kebudayaan dan adat istiadat dan faktor ilmu pengetahuan.
1.       Faktor Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukanhukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi. [13]
Ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahlu rayi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdah yang metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fiqh yang lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana, ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini, cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal”.
Pendapat Atho Mudzhar di atas, menunjukan bahwa berbeda geografis kota akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota yang secara geografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan hukum disbanding dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf. Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu sendiri. Mesir secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya sungai nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan dengan di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya dengan air (iklim), seperti thaharah, berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan lain sebagainya, Imam Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak. Yang lebih menitikberatkan kepada penekanan harus dikerjakan, karena menganggap tidak mungkin air tidak didapati. Dengan demikian karena di Mesir dengan gampangnya mendapatkan air, maka dalam keadaan bagaimanapun perintah Allah yang ada kaitannya dengan masalah thaharah harus dikerjakan, sedangkan di Irak yang kurang subur bila dibandingkan dengan di Mesir, agak sulit mendapatkan air, maka perintah Allah bisa saja ditunda atau tidak tikerjakan sama sekali. Salah satu contoh fatwa Imam Syafi’i adalah sebagai berikut: “ Apabila datang waktu shalat, sedangkan air dan tanah tidak didapati, maka menurut qaul jadid sholatlah apa adanya dan ulangi shalatnya jika telah didapati air, sedangkan menurut qaul qadim jangan shalat jika air dan tanah tidak ada”. Ke dua fatwa ini jelas sangat berbeda dan saling bertentangan , padahal dalam kasusnya sama, yaitu tidak ada air. Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan berbeda dengan daerah yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan daerah kering. Begitu juga akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan kota tempat imam mujtahid tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup disuatu kota akan berbeda dengan kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa saja, kota yang lebih modern akan berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila dibandingkan dengan kota yang sederhana dan tertingal.

2.      Faktor Kebudayaan dan Adat Istiadat
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri. Walaupun masyarakat telah mempunyai kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqaha dapat pula menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua system yang ditempuh oleh fuqaha dalam memberikan hukum. Menurut Harun Nasution (1979:14)“ Penafsiran-penafsiran itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada di tempat dan jaman itu muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain. Begitu juga menurut Abdul Gani Abdullah (2000:22) “ Hubungan antara syari’ah dan peradaban manusia pada satu segi dapat dikatakan kausalistik dengan dasar teoritis bahwa (1) Syari’ah dalam kapasitasnya sebagai respon terhadap proses peradaban, maka antara syari’ah dan peradaban saling membutuhkan, (2) sebagai respon, syari’ah terumuskan karena kebutuhan peradaban manusia, dan arah peradaban manusia bergantung kepada syari’ah itu sendiri.
Kebudayaan dan adat istiadat Mesir lebih maju dan lebih modern bila dibandingkan dengan kebudayaan Irak, karena bangsa Mesir pernah dukuasai oleh bangsa Romawi yang kebudayaan dan teknologinya lebih modern pada waktu itu, sedangkan Irak tidak pernah dikuasai oleh bangsa Romawi. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bangsa Romawi telah tertanam pada bangsa Mesir, terutama masalah pergaulan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, oleh karena itu pergaulan sehari-hari di Mesir lebih terbuka, sedangkan di Irak karena belum pernah dikuasai oleh bangsa lain, maka pergaulan sehari-harinya lebih tertutup. Dengan budaya Mesir seperti itulah, maka pada waktu itu Imam Syafi’ memberika fatwa kepada perempuan untuk bebas menuntuk ilmu sebagaimana kaum laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum perempuan berduyun-duyun menuntu ilmu pada Imam Syafi’i. Lain halnya ketika tinggal di Irak yang pergaulannya lebih tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak diberi kebebasan untuk menutut ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk menutut ilmu sekedarnya saja, itupun kepada muhrimnya atau suaminya. Di Mesir pula Imam Syafi’i menggabungkan dalam satu ruangan antara pelajar laki-laki dengan pelajar perempuan, yang sebelumnya di Irak pelajar laki dengan pelajar perepuan selalu terpisah. Dengan demikian sangat jelas bahwa kebudayaan dan adat istiadat suatu bangsa sangat menentukan dan mempengaruhi terhadap hasil ijtihad seorang mujtahid, hal itu telah buktikan oleh Imam Syafi’i yang merubah hasil ijtihadnya ketika berada di Irak dengan ijtihadnya yang baru ketika berada di Mesir.

3.      Faktor Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, karena beliau belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah di Irak. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu. Karena pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda dengan gurunya yang ada di Madinah sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya sendiri. Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukan fikiran kepada ulama-ulama Mesir.
Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di Irak. Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.
Ilmu pengetahuan seorang imam mujtahid akan menentuka terjadinya perubahan
dalam pembentukan hukum Islam. Sebagai contoh Imam Malik bin Anas yang ahli Hadits fatwanya berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang ahli Ra’yu, sekalipun dalam kasus yang sama. Hal yang sama telah dipraktekan oleh Imam Syafi’i sendiri, ketika beliau di Hijaz Imam Syafi’i memberikan fatwa yang dilandsai dengan d alil-dalil al- Qur’an dan As-Sunnah, tidak dilandasi dengan ra’yu, karena pada waktu itu beliau belum mengetahui tentang ra’yu, tetapi ketika beliau sudah berada di Irak dan telah belajar tentang ahli ra’yu, maka beliau merubah sendiri fatwanya yang dilandasi dengan pendapat ra’yu, begitu juga setelah di Mesir beliau menemukan hadits yang lebih kuat yang sebelumnya di Hijaz atau di Irak tidak menemukan hadits tersebut, maka beliau merubah kembali fatwa beliau yang telah dikeluarkan di Irak.








BAB III
KESIMPULAN
Metodologi istinbat hukum melalui qiyas, adalah sebagai upaya ijitihad Imam seorang mujtahid dalam menghadapi peristiwa-peristiwa baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Peristiwa-peristiwa baru tersebut timbul Karena berkembangnya beradaban kebudayaan manusiadan, faktor perbedaan alam, sehingga hukum Islam dituntut untuk memecahkan masalah-masalah baru yang tidak terdapat adalam Al- Qur’an dan As-Sunah. Sesuai dengan kaidah yang berbunyi “Hukum itu selalu berubah, sesuai dengan perubahan tempat dan zaman”. Sebagai contoh Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid dapat terjadi, karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut untuk berijtihad tersendiri, dan fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil ijtihad terakhir serta tidak terikat dengan fatwa terdahulu. Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid, karena dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor geografis, faktor kebudayaan dan adat istiadat, faktor ilmu pengetahuan, faktor metodologi dan faktor tuntutan dari murid Imam Syafi’i. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas, jelas tampak pada keragaman masalah yang dibahasnya, setiap kali menghadapi kasus-kasus yang aktual, Imam Syafi’i melakukan ijtihad dengan mempergunakan dalil, kaidah dan sisi pandang yang paling tepat.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana,  Jakarta, 2006
Azyumardi Azra, Islam Substantif, Mizan, Bandung, 2000
H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007
Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007
Sodjono Dirdjosiswono, Sosiologi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1983
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Yusuf al Qardlawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, Bulan bintang, Jakarta, 1997
Yusuf  al Qardhawi,  Ijtihad Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya,  2000
Yusuf  al Qardhawi, Fatwa- Fatwa kontemporer, Gema Insani, Jakarta, 1995
http://syakhsiyah.wordpress.com/page/2/Asjmuni Abdurrachman, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada tanggal 19 desember 2011 dari http: //islamlib.com /id/ index.php?page = article&id/html.




[1] Yusuf al Qardlawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal 2
[2] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2006), h. 226-227
[3] Yusuf  al Qardhawi,  Ijtihad Kontemporer, h. 24
[4] Asjmuni Abdurrachman, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada tanggal 19 desember 2011 dari http// http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id/html.

[5] Sodjono Dirdjosiswono, Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 76-77.
[7] Yusuf  al Qardhawi,  Ijtihad Kontemporer, ( Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 13
[8] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.100-101.
[9] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007), hlm. 79
[10] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, hlm. 79-80
[11] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, hlm. 79-80
[12] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 291
[13] HM.Atho Muzhar, Mimbar Hukum,  hal 23

No comments:

Post a Comment